Pagi menjelang siang, lamat-lamat terdengar suara deruman mobil yang semakin lama-semakin mendekat. Ah, jarang sekali ada mobil lewat didesaku. Kalaupun ada biasanya anaknya Mbah Marto yang kerja di Jakarta sedang mudik. Itupun terjadi bila hari menjelang lebaran dan ketika datang akan sangat ramai anak-anak mengerubungi mobil yang memang jarang sekali anak-anak seusiaku melihat ada gerobak yang bisa berjalan tanpa ada sapi atau kerbau didepannya itu dan mengeluarkan asap hitam yang membumbung mengotori langit yang membiru.
Sejenak aku terdiam, mobil itu berhenti tidak jauh dari rumah tepat di depan kantor kepala desa. Kulihat kakek berdiri lalu masuk kerumah, bercakap serius dengan nenek yang nampak cemas sebentar kemudian terdengar pengumuman dari pengeras suara dari kantor kepala desa.
"Diumumkan kepada seluruh penduduk karang turi, yang disebutkan namanya berikut ini segera melapor ke kantor kepala desa dengan membawa kartu tanda pendukuk. "
1...
2...
3. Munawir bin Sukijan
4....dst
Ada nama kakek disebutkan dan beratus nama lainnya. Kakek keluar dari pintu depan diiringi nenek dengan wajah khawatir, ada apa sebenarnya? aku bertanya-tanya dalam hati dan mencoba mencerna tentang keadaan ini, tapi tak terbersit sedikitpun jawaban di otakku. Ah, aku memang masih kecil, sekolahpun belum diizinkan karena tangan kanan saya belum bisa mencapai telinga kiriku jika dilingkarkan lewat atas kepala. Yah itu memang cara yang dulu dipakai didesaku untuk bisa masuk ke SDN Inpres karang turi.
"Nek, kenapa Kakek dipanggil ke kantor desa nek?" tanyaku ingin tahu setelah kakek menghilang di belokan jalan depan yang terhalang oleh pagar tananam pohon turi yang sengaja ditanam kakek sebagai pagar hidup, dan bunga turipun biasa dipakai oleh nenek untuk membuat pecel.
"Tidak apa-apa, sudah sejak 15 tahunan yang lalu setiap 17 agustus Kakekmu harus melapor kekantor kelurahan dan ke kepolisian." Jawab nenek hambar seakan ada rahasia yang tersembunyi dibalik kerutan wajahnya yang sudah menua.
"Kek aku ingin jadi guru setelah besar nanti?" tanyaku pada kakek di suatu minggu pagi.
"Buat apa jadi guru, mbok ya jadi petani saja atau pedagang agar kamu bisa mengurus sawah kakek setelah kakek dan nenek nanti tiada." Jawab kakek sambil menghisap rokok lintingan dengan tak ketinggalan aroma kelebak menyan yang khas menusuk hidungku.
"Tapi jadi guru kan pekerjaan yang mulia kek, dan sering disebut pahlawan walaupun tanpa tanda jasa." Aku mencoba berargumen pada kakek dengan menirukan penjelasan Bu Winarni, guru Pendidikan Moral Pancasila jika sedang membahas tentang tugas-tugas guru di sekolah.
"Kamu tidak bisa menjadi guru ataupun pegawai pemerintah lainnya nak, kamu tak akan bisa diterima." Jawab kakek setelah hampir menghabiskan setengan lintingan rokoknya yang menyala dan masih saja bau kelebak menyan yang seakan tak mau ikut ketinggalan menebarkan bau khasnya.
"Kenapa kek? Akukan sekarang sudah kelas 6 dan sebentar lagi ujian. Nilaiku juga termasuk bagus dikelas, dan Pak Hasan wali kelasku juga mendukung waktu aku mengutarakan cita-citaku ingin menjadi guru." Sekilas kulihat wajah kakek mengembangkan senyum. Senyuman tipis yang biasa ku lihat dipagi hari saat menyongsong mentari mengokohkan keberadaannya di ufuk timur. Dan seperti biasa pula kakek menghela nafas panjang dan mengeluarkannya kembali dengan berat laksana angin yang menghantam keras di batu karang.
"Bukan karena itu nak." Sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya lalu kakek melanjutkan.
"Selagi tanda merah di kartu tanda penduduk kakek ini masih belum dihapus, kamu tidak akan pernah bisa menjadi pegawai pemerintah. Karena kakek dianggap penghianat bangsa dan negara ini walaupun kakek sebenarnya tidak tahu apa arti sebuah penghianatan itu." Jawab kakek dengan mata yang memerah seperti menahan kemarahan yang tak bisa dikeluarkannya yang sudah mengendap lama didalam dadanya. Aku hanya diam dan takberani menjawab lagi. Kucoba mengerti dan memahami apa yang dikatakan kakek, tetapi tetap saja aku belum bisa memahaminya. Mungkin nanti, setelah aku dewasa pasti aku bisa mengerti.
"Pak Budi, mungkin tidak sampai seminggu lagi pabrik penggilingan padi yang di kampung 4 akan selesai." Arman, orang kepercayaanku yang mengelola pabrik keduaku di kampung 5 desa karang turi ini melaporkan hasil kerjanya.
"Bagus lah Man, semoga petani-petani dikampung 4 tidak perlu jauh-jauh lagi untuk menggilingkan padinya. Dan semakin mudah pula petani untuk kita bantu pupuk agar hasil panennya bisa bertambah baik."
"Pak Budi, kemarin ada anaknya pak Tukiyo yang ingin melamar menjadi karyawan untuk di pabrik yang baru dibangun itu. Tetapi pak Tukiyo juga jujur mengatakan kalau KTP-nya bertanda merah." Arman berkata dengan raut muka yang serius seperti ada rasa takut untuk mengutarakan adanya KTP yang bertanda merah itu.
"Ah, masih ada juga yang memikirkan tentang tanda merah itu, padahal waktu sudah berlalu sekian puluh tahun yang lalu. Katakan pada pak Tukiyo, setelah lebaran dan pabrik sudah mulai beroperasi anaknya suruh bekerja disana. Tak ada yang perlu ditakutkan dengan KTP-nya yang bertanda merah itu. Semua sudah ditanggung oleh kakek dan bapak-bapak kita. Dan lagi sebenarnya kakek-kakek kita dulu hanya terjebak oleh keadaan politik yang memang tidak dipahami sepenuhnya oleh mereka akan kelamnya sejarah dinegara kita ini.
Setelah berlalunya Arman menghilang dibalik pintu rumahku, aku teringat pada kakek. Kakek yang membesarkanku setelah ayah menghilang dan tak tahu rimbanya ketika gonjang ganjing di negeri ini terjadi. Kakek yang telah meninggalkanku 10 tahun yang lalu dibulan Ramadhan setelah sebulan sebelumnya nenek juga telah lebih dulu menghadap yang kuasa.
Besok hari Lebaran, didepan pusaramu kek, Aku ingin membuatmu bangga. Walaupun kakek dianggap sebagai penghianat bangsa dan kakek sendiri tidak tahu apa yang telah kakek lakukan, Walaupun di makam kakek tidak boleh ada merah putih berkibar. Akan kubuktikan bahwa cucumu ini ikut membangun dan mengentaskan kemiskinan demi Bangsa dan tanah lahir kita yang lebih baik. Sekalipun di KTP kakek ada tanda merah, semua orang akan mulai mengerti bahwa tanda merah itu adalah keberanian kakek berkorban memendam semua rasa, hanya untuk agar cucumu ini bisa berguna bagi Ibu Pertiwi.
Semilir angin disaat senja. Dipemakaman umum desa karang turi, kulihat matahari kemerahan di ufuk barat, semerah tanda di kartu tanda penduduk kakek.
NB:
Sebentar lagi lebaran tiba, untuk teman-teman blogger semuanya, saya mengucapkan selamat hari lebaran, Minal 'Aidin wal-Faizin. Mohon maaf lahir dan batin jika ada kata-kata yang salah saat saya berkunjung dan meninggalkan komentar di rumah maya sahabat-sahabat blogger sekalian. Semoga kita semua bisa mendapatkan hikmah dan manfaat dari puasa Ramadhan yang akan berakhir beberapa hari lagi. Amin.
bagus sekali ceritanya sob...sangat menyentuh....
ReplyDeletesetuju, tak seharusnya kita masih mempermasalahkan tanda merah itu.... cukup sudah kakek dan leluhur terdahulu yang menanggung semua itu... tak sepantasnya kita ikut menghukum anak cucu mereka, yang jelas2 tidak bersalah....
btw, kisah nyatakah ini? jika fiksi, kereeen banget sob!
selamat lebaran yaaa.... mohon maaf lahir dan batin...
Fiksi mbak Al hehee..
DeleteSama2 mbak, met lebaran juga :)
asyik... pertamax bo'
ReplyDeleteWah, Mbak Al lagi beruntung nih :D
DeleteAkhir yang bahagia tapi jugamenyedihkan.
ReplyDeleteXixixii... betul sob :D
Deleteceritanya bagus sekali... seorang komunisnya kakeknya terkena diskriminasi... semoga sudah tidak ada lagi diskriminasi seperti itu lagi sekarang ya....salam, selamat idul fitri ya sob...
ReplyDeleteIya sob hehee..
DeleteThanks ya :)
Tanda Merah atau ET itu ya... tanda yang sebagian besar diberikan secara NGAWUR itu karena ybs tdk tahu menahu ttg keterkaitan dirinya, lha dia anya tahu macul di sawah tiba2 KTPnya menjadi penyebab sang anaknya terhentikan cita-cita utk masuk ke militer dgn dramatis.
ReplyDeleteIta mbak, dulu di kampungku banyak yang ditandai E.T.
Deletepolitik memang menyebalkan buat orang kecil
ReplyDeletepaham komunis sebenarnya bagus, nasionalis bagus, berdasar agama juga bagus
yang bikin buruk ya politik itu sehingga yang terjadi di lapangan melenceng dari falsafah dasarnya
Setuju sob, memang politik yang menjadikannya buruk hehee..
Deletekunjungan pagi gan . .izin menyimak
ReplyDeleteThanks sobat :)
Deleteehm bagus ceritanya, tentang tanda merah dan impian si cucu yang ingin membuktikan. tapi emang ada ya tanda merah kaya gitu di bangsa ini? ini beneran ada atau cuma karangan? tandanya emang benera ada ya?
ReplyDeleteAda tandanya sob, cuma bukan warna merah hehee..
Deleteterharu baca ceritanya mas, tanda merah yang ternyata ikut di bebankan ke anak cucu, saya rasa sebuah keadaan yang sangat tidak adil ya.
ReplyDeletetapi ending nya bahaagia ya, saya suka deh.
Selamat lebaran ya mas, mohon maaf lahir batin juga ya...
Iya mbak hehee..
DeleteMakasih mbak, met lebaran juga, maaf lahir batin ya mbak :)
Waaaaah, masuk sekolah harus lingkarin tangan sampe ke telinga :D
ReplyDeleteane pikir cuma ada di desa ane aja
Hahaha... iya sob, masa kecil emang lucu ya :D
Deletemerah masih terpinggirkan, berarti negara kita belum merdeka.....
ReplyDeleteBetul sob, tapi sekarang kayaknya sudah gak ada.
Deletemohon maaf lahir dan batin juga ya
ReplyDeleteSama2 mbak hehee..
Deleteyap, betul kawan. almarhum bapak gue juga sempat terkena tanda tersebut. katanya pemberontak yg ikut PKI waktu itu. sempat ketangkap dan di penjara, tetapi akhirnya karna gak cukup bukti bapak diluarkan dari penjara.
ReplyDeleteups, lupa... absen hadir lagi bro! lama gak ketemu nih ama Elo hehehehe,,,,
DeleteUntungnya sejak reformasi semua sudah berakhir sob hehee..
DeleteThanks ya kunjungannya :)
fiksi apa nyata ya ?
ReplyDeleteFiksi mbak hehee...
Delete. . wachhhhhhhhhhhhhh,, tanda merah. emmmmmmmmmmmmmmm,, . .
ReplyDeleteMerah tanda berani ya pie :D
Deletesetahu saya cap merah KTP hanya ada di zaman ORBA, dan semenjak reformasi cap merah sudah tidak ada lagi....
ReplyDeleteRamadhan sudah hampir berakhir, maka izinkanlah saya mengucapkan salam...
Taqobalallahu minna wa minkum wa ja'alanallahu minal aidin wal faizin
Semoga Allah menerima amalan-amalan yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga ALLAH menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah dan mendapat kemenangan,
Selamat Menyambut Dan Merayakan Hari Raya Idul Fitri,
Mohon maaf lahir batin bila ada salah dan khilaf selama ini,
Salam hangat dan hormat dari Makassar- Indonesia
Wassalam
hadir lagi sobat :)
DeleteBetul sob hehee...
DeleteThanks ya, met lebaran juga mohon maaf lahir dan batin :)
merdeka sob, selamat hari kemerdekaan RI
ReplyDeleteMerdeka juga sob heehee..
Deleteternyata sudah hadir kembali.. :)
ReplyDeletesalam MERDEKA.. :)
Iya sob. Slam Merdeka :)
Deletecuma liat judul nya azz udah gk mood,,
ReplyDeletetp ku coba baca ceritanya ammpe abizzz.,
wehhhh
malah aseekkk nih crita nya,,
hehehehe
salam dunia blogger
Hehe... thanks sob dah mampir :)
DeleteMaaf OTT,
ReplyDeleteTeruntuk semua Sobat Muro’i El-Barezy, diri ini hanyalah manusia biasa yang tak luput dari segala khilaf dan dosa serta prasangka. Di penghujung bulan yang penuh berkah ini saya selaku Admin blog Muro’i El-Barezy, memohon maaf atas perkataan lewat tulisan baik yang disengaja maupun tidak. Semoga amal ibadah kita di bulan yang penuh berkah ini diterima oleh Nya dan semoga kita kembali di pertemukan dengan bulan yang penuh berkah ini.
Selamat hari raya Idul Fitri 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
تَقَبَلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
Semoga Allah menerima segala amal ibad kita. Amin.
Makasih sobat, met lebaran juga. Mohon maaf lahir dan batin :)
DeleteAhhhh, keren keren keren..
ReplyDeleteAku suka gaya bahasanya..
Bikin penasaran..
like this..
http://kancilkampus.blogspot.com/
Thanks sob :)
Deletedituduh PK* ya? -_-"
ReplyDeletebtw udah selesai ya hiatusnya? :D baru mampir lagi ke sini setelah sebulan kemarin hiatus bewe :)
Iya nih sob. Hiatusnya dah berakhir :D
Deletemantep ceritanya..knapa blog anak rantau ga pernah lagi silaturahmi ke blog saya?? Hmmmm..
ReplyDeleteHabis hiatus kemarin sob :)
Delete